Selasa, 13 Mei 2014

Moestopo : Bidang Pendidikan




Di samping aktif di bidang kemiliteran, Prof. Dr. Moestopo juga turut berpartisipasi dalam memajukan pendidikan tinggi di Indonesia. Di bidang kedokteran gigi, selain beliau merupakan salah dokter gigi tertua di Indonesia, juga beliau ikut mendirikan berbagai Fakultas Kedokteran Gigi di Indonesia seperti di Universitas Indonesia, Universitas Pajajaran, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara, Universitas Trisakti, dan Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), sehingga sudah selayaknya bila PDGI (Persatuan Doker Gigi Indonesia) menganugerahkan gelar Bapak Kedokteran Gigi Indonesia kepada belau sebagai ungkapan rasa penghargaan dan terima kasih atas sumbangsih Prof. Dr. Moestopo kepada dunia kedokteran gigi di Indonesia.

Selain dari itu, Prof. Dr. Moestopo juga merupakan seorang pelopor perkembangan Ilmu Komunikasi (Publisistik) di Indonesia, karena beliau adalah pendiri Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pajajaran di Bandung dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (beragama) di Jakarta. Bahkan beliau tidak setuju dengan gagasan Menteri P dan K, Dr. Daud Yusuf untuk melebur Fakultas Ilmu Komunikasi menjadi salah satu jurusan pada Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial. Berkat proposal yang disusunnya bersama-sama dengan staf pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pajajaran dan dikirimkan kepada Menteri P dan K pada waktu itu, maka akhirnya Fakultas Ilmu Komunikasi tetap merupakan suatu Fakultas yang berdiri sendiri dan bukan merupakan salah satu jurusan pada Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial.

Prof. Dr. Moestopo memang gigih dalam mempertahankan Ilmu Komunikasi (Publisistik) di Indonesia, karena dalam masa gerilya dulu, Prof. Dr. Moestopo sudah menggunakan dan merasakan keampuhan Ilmu Komunikasi dalam perang rahasia melawan Belanda. Bahkan untuk menandingi War Correspondence School dari Belanda yang bebas masuk Indonesia, dr. Moestopo pada 1947 di Yogyakarta membentuk War Correspondence School yang muridnya antara lain Osa Maliki dan Dr. Umar Kayam.

Sumber : Buku Sejarah Berdiri dan Berkembangannya Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo, 2007

Moestopo : Pembela Tanah Air



Selama menjabat sebagai Wakil Kepala Stovit Surabaya dr. Moestopo dianjurkan untuk memasuk pendidikan kemiliteran yang tergabung dalam PETA (Pembela Tanah Air) yang didirikan untuk membantu pasukan Jepang di Indonesia. Akhirnya dr. Moestopo memasuki pendidikan kemiliteran PETA di Bogor yang berlangsung selama 120 hari.

Dengan demikian untuk sementara dr. Moestopo meninggalkan profesinya sebagai dokter gigi dan mulai beralih profesi di bidang kemiliteran.

Setelah selesai menjalani pendidikan dasar kemiliteran PETA di Bogor, dr. Moestopo diangkat sebagai Cudanco Cudan Satu Daidan Buduran Sidoarjo, melalui pendidikan tiga tahap, yaitu:
1. Bogio yang berarti pertahanan (defence)dibuat untuk membuat kubu pertahanan(Zinzi) di kota Porong dalam menghadapi serangan dari Surabaya dan Sidoarjo.
2. Genzizigatzu yaitu memeri pelajaran bercocok tanam, pembuatan jalan dan perkebunan di pegunungan pada daerah perbatasan kota Surabaya-Malang untuk menjaga gerak mundur pasukan, jika ada serangan musuh.
3. Kyuku yang berart pendidikan, menddik penerjemah bahasa Jepang ke Bahasa Indonesa (Cuyaku).
Dalam pendidikan PETA di Bogor, ada enam orang Daidanco bekas Cudanco yang merupakan lulusan-lulusan terbaik, diantaranya Panglima Besar Sudirman, Letjen. Gatot Subroto dan dr. Moestopo
Dalam ujian Daidanco Bogor ini, dr. Moestopo memperoleh predikat lulus dengan cum laude, dengan mempertahankan disertasinya yang berjudul “Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Kotoran Kuda Untuk People Defence-Attack dan Bioligical Warfare (perang biologis)”.

Di kemudian hari hasil penemuan dr. Moestopo berupa bambu runcing yang ujungnya dibubuhi kotoran kuda itu sangat ditakui tentara Belanda dan Jepang.

Untuk selanjutnya bambu runcing ini banyak dipakai oleh para pejuang kita dalam melakukan penyerangan mendadak terhadap tentara Belanda dan Jepang.

Kemudian dr. Moestopo diberi tugas sebagai Daidanco (perwira setara dengan komandan batalyon) di Gresik, yang berkekuatan 866 orang (kurang lebih satu batalyon) untuk memertahankan pantai Karesidenan Surabaya.
Masa pendudukan Jepang berakhir, ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh tentara Amerika pada tahun 1945, dan sejak saat itu Jepang menyerah kepada Sekutu. Bersamaan dengan berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia yang berlangsung selama tiga setengah tahun, Indonesia memproklamasikan dirinya sebagai Negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka secara de jure dan de facto ang memerintah Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi dengan menyerahnya Jepang di tangan Ameria dan sekutu-sekutunya, maka semua persenjataan tentara Jepang harus diserahkan kepada sekutu yang diwakii oleh tentara Inggris.
Dengan merdekanya Indonesia sebagai Negara Republik, seharusnya persenjataan tentara pendudukan Jepang di Indonesia diserahkan kepada Indonesia, tetapi pada kenyataannya akan diserahkan kepada tentara Inggris yang pada waktu itu belum ada di Indonesia.

Untuk menerima penyerahan senjata Jepang, maka sebagian tentara Inggris yang semula ditempatkan di India akan ditempatkan di Indonesia guna mengurus pemulangan tentara Jepang. Namun kondisi ini tidak menguntungkan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Karena tentara kolonial Belanda yang telah terusir oleh Jepang pada tahun 1942 ingin kembali menjajah Indonesia yang telah mereka dengan membonceng kehadiran tentara Inggris yang mempunyai tugas mengurus pemulangan tentara Jepang dan menerima penyerahan senjata dari Jepang.

Pada tanggal 30 September 1945 rombongan Bung Karno yang di dalamnya ikut serta Opsir sekutu datang dari Jakarta ke Surabaya dan bertempat di aula Gubernuran Jawa Timur. Pada saat itu di antara deretan pemimpin pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan opsir sekutu, dr. Moestopo berdiri tegak dengan sikap sempurna seorang militer sambil tangan kirinya memegang ujung Bendera Merah Putih, beliau berkata “Bung Tembak saya di sini, di depan par opsir bule itu biar mereka menyaksikan dengan puas. Arahkan mulut senapan itu kepada saya dan semburkan pelurunya kala saya selesai memberi hormat pada Bung.”

Semua orang terdiam baru kemudian Bung Karno berteriak dengan suara mengledek “Tidak! Hanya saya Presiden Republik Indonesia yang bisa membunuh Moestopo”, maka keesokan harinya pada tanggal 1 Oktober 1945 keluar surat perintah Presiden Republik Indonesia yang ditulis oleh Bung Karno kepada Jenderal dr. Moestopo untuk mengkoordinir tenaga perjuangan untuk memperkuat pertahanan dan stabilitas Negara Republik Indonesia.

Dr. Moestopo yang telah memiliki ketrampilan sebagai seorang militer dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 tidak tinggal diam begitu saja. Dengan satu batalyonnya yang ditempatkan di Gresik oleh Jepang, dr. Moestopo membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jawa Timur selaku Penanggung Jawab Keamanan Rakyat Jawa Timur.

Kemudian dr. Moestopo oleh Pemerintah Pusat yang pada waktu itu berkedudukan di Jakarta sebagai Penanggung Jawab Revolusi Jawa Timur dan Menteri Pertahanan Ad. Interim. Dengan jabatan tersebut, dr. Moestopo berdiplomasi mendatangi Jenderal Iwabe yang berkedudukan sebagai Panglima Angkatan Darat Tobu Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Jenderal Shibata sebagai Panglima Angkatan Laut Jepang yang ditempatkan di Indonesia Timur untuk mendapatkan semua senjata dan semua peralatan perangnya sebelum diserahkan kepada tentara Sekutu yang diwakili tentara Inggris.
Karena posisi tentara Jepang yang diberi tugas oleh Sekutu untuk menjaga keamaan Indonesia sebelum tentara Inggris datang, memaksa Jepang untuk tidak begitu saja menyerahkan semua senjata dan peralatan perangnya kepada Indonesia.
Dengan tidak diserahkannya senjata tersebut, memaksa dr. Moestopo dengan pasukan keamanan rakyat dan para pemda dengan persenjataan seadanya seperti bambu runcing, menyerang markas Ken Pei Tai Jepang di Surabaya.

Dengan adanya serangan tersebut, maka seluruh persenjataan dan peralatan perang di Surabaya diserahkan kepada pejuang kita. Dari penyerangan itu kemudian lahir perkataan bambu runcing mengalahkan senjata modern.

Kemudian dengan kereta api dr. Moestopo mengirimkan senjata dan peralatan perang tersebut kepada para pejuang untuk mempersenjatai perjuangan rakyat di Jakarta Raya, Bekasi, Klender, Garut, Cirebon, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan dan daerah lainnya.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tentara Inggris di bawah pimpinan Jenderal Mallaby datang ke Indonesia dan hanya dapat melucuti senjata Jepang di Jakarta dan di Bandung. Di Surabaya, Jawa Timur, Jawa Tengah, tentara Inggris tersebut tidak dapat melucuti senjata Jepang, karena semua senjata-senjata itu sudah dibagi-bagikan ke seluruh rakyat pejuang arek-arek Suroboyo dan telah disebarkan ke seluruh Indonesia kecuali pulau Sumatra.
Dengan tidak berhasilnya melucuti persenjataan tentara Jepang di Surabaya, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, tentara Inggris kemudian menyerang Surabaya. Serangan itu tidak didiamkan begitu saja oleh Badan Keamanan Rakyat dan rakyat Surabaya. Tetapi dihadapi dengan serangan balasan yang dipimpin oleh dr. Moestopo selaku Penanggung Jawab Revolusi Jawa Timur. Taktik yang dipergunakan oleh dr. Moestopo adalah taktik Himizu Zensosen (Perang Rahasia/Gerilya) digabung dengan Perang Sengaisen (Perang Kota). Akibat serangan balasan tersebut, Jenderal Mallaby sebagai Komandan Pasukan Inggris yang telah berpengalaman Perang Dunia II terpaksa mengibarkan bendera putih, bahkan dalam suatu peristiwa di dekat Jembatan Merah Surabaya, Jenderal Mallaby tewas oleh peluru Arek Suroboyo.

Tewasnya Jenderal mallaby d Surabaya, bukanlah tanggung jawab dr. Moestopo, karena perintah perang telah dihentikan oleh Bung Karna dan Bung Hatta yang secara khusus datang ke Surabaya untuk menyelesaian perang antara Badan Keamanan Rakyat beserta Arek-arek Suroboyo melawan tentara Inggris. Dalam kesempatan itu dr. Moestopo yang akhirnya dipensiunkan sebagai Jenderal penuh oleh Bung Karno berkesempatan menyampaikan sebuah dokumen yang menyatakan bahwa kedatangan tentaara Inggris di Indonesia sebagai tentara Sekutu sebenarnya diboncengi oleh tentara Nica Belanda yang akan kembali menjajah Indonesia yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945.

Dokumen itulah yang melatarbelakangi petempuran di Surabaya. Karena seluruh Bangsa Indonesia tidak ingin dijajah kembali oleh Belanda, dan seluruh rakyat Indonesia bersemboyan lebih baik mati daripada dijajah kembali oleh Belanda. Dengan motivasi itulah seluruh rakyat Indonesia baik tua maupun muda, laki-laki atau perempuan, memanggul senjata untuk mengusir kembali penjajah Belanda dari tanah air tercinta.

Setelah dipensiunkan sebagai Jenderal penuh, kemudian dr. Moestopo diberi tugas sebagai Penasehat Agung Militer Presiden Republik Indonesia.

Selang beberapa waktu kemudian dr. Moestopo menerima telegram dari Perdana Menteri Sutan Syahrir agar datang ke Jakarta. Dr. Moestopo dijemput oleh Letjen. Abdul Karnen naik mobil ke Jakarta dan langsung menuju rumah Walikota Jakarta Barat Suwiryo.

Kemudian dr. Moestopo menghadap Perdana Menteri Sutan Syahrir. Dr. Moestopo diusulkan kepada Presiden Sukarno untuk diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Tetapi usul itu ditolak oleh Presiden Sukarno dengan alasan dr. Moestopo saat itu masih menjabat sebagai Penasihat Agung Militer Panglima Perang Tertinggi/Presiden Republik Indonesia Sukarno.
Oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, dr. Moestopo bersama dengan Letjen. Soengkono diperbantukan kepada Menteri Pertahanan di bidang PEPOLIT dari wakil-wakil partai dan dr. Moestopo mewakili Angkatan Darat.

Dengan hijrahnya Pemerintah Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta, maka seluruh aparat Pemerintah Republik Indonesia turut hijrah pula ke Yogyakarta. Pada agi hari dr. Moestopo bertugas di Departemen Pertahanan dan bila malam hari beliau melakukan studi reklasering terhadap para pencopet, pelacur, dan penjahat untuk direhabilitasi (reklasering).

Manfaat dari studi reklasering itu digunakan untuk perjuanan. Para pencopet, pelacur, dan penjahat yang telah direhabilitasi itu dibentuk menjadi barisa Terae yang diterjunkan di medan perang di Purwakarta untuk membantu Divisi Siliwangi, dan di tempat-tempat pertempuran lainnya. Hal tersebut atas permintaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada dr. Moestopo agar para pencopet, pelacur, penjahat yang telah direhabilitasi dipindahkan dari kota Yogyakarta.

Dr. Moestopo bersama-sama dengan Jenderal Sudirman, Jenderal Urp Sumoharjo, Komodor Suryadarma dan Laksamana Natsir dari Angatan Laut serta Bung Tomo merupakan perintis organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada waktu kedudukan Pemerintah Indonesia yang dipertahankan oleh Divisi Siliwangi terdesak oleh serangan tentara Belanda sampai di Purwakarta, dr. Moestopo diperintahkan oleh Bung Karno dan Jenderal Urip Sumoharjo untuk membantu Panglima Divisi Siliwangi Jenderal Nasution untuk merebut daerah Parahyangan yang sudah dikuasai Belanda sampai di Bandung.

Kemudian dr. Moestopo ditunjuk sebagai Panglima Divisi Siliwangi Utara yang berkedudukan di Purwakarta. Di sepanjang Gunung Bukit Tunggul, Burangrang dan Tangkunban sampai pegunungan di dekat Bogor, dr. Moestopo melatih dan membentk Barisan Terate (Jawa-Sunda) dan Ajak Merah (Batak) yang dipimpin oleh anak-anak siswa Akademi Militer Yogyakarta, seperti misalnya Prof. Dr. Subroto (Mantan Menteri Pertambangan), Letjen Sajidiman (Mantan Dubes RI di Jepang), Jenderal Purnawirawan Widod (Mantan KSAD), Letjen. Himawan Sutanto dan masih banyak lagi yang sekarang telah menjadi Perwira Tinggi TNI. Banyak anak didik beliau yang telah menduduki pos-pos penting di dalam pemerintahan.

Sewaktu menjadi Wakil Panglima Siliwangi, dr. Moestopo mengalami patah tulang, akibat pertempuran menghadapi jagoan belanda Kartalegawa dan pasukannya yang dibantu oleh pasukan Po An Tui (Tentara Cina yang membantu Belanda). Sesdudah adanya gencatan senjata, dr. Moestopo dikabarkan telah meninggal dunia.

Usaha pencarian yang dilakukan Pemerintah akhirnya menemukan dr. Moestopo sedang dirawat di tengah hutan di daerah Cianur oleh seorang petani. Kemudian dr. Moestopo dibawa ke Yogyakarta untuk dirawat di rumah sakit Bethesda. Tetapi belum sembuh benar dari sakitnya Beliau menerima telegram untuk menggantikan Jenderal Sudiman sebagai KomandanMarkas Besar Pertempuran Jawa Timur.

Untuk membantu merebut daerah-daerah yang diduduki Belanda, dr. Moestopo membawa satu kompi Ajak Merah dan tiga batalyon Pasukan Terate yang bertindak sebagai inti pasukan penggempur guna membantu penyernan terhadap kota Surabaya, Malng, Semaran, dan daerah Jawa Barat. Di samping itu, dr. Moestopo juga merangkap menjadi Panglima Teritorial Komanda Markas Besar Pertempuran Jawa Timur yang sudah memiliki pesawa terbang dan kereta api ‘Cap Jago’ jurusan Yogya-Malang yang dilengkapi dengan senjata otomatis dan kanon di atas kereta api.

Setelah adanya rasionalisasi kepangkatan (Rera), seluruh anggota TNI pangkatnya diturunkan satu tingkat dan empat divisi diciutkan menjadi sat divisi. Dr. Moesopo kemudian diangkat menjadi Inspektur Infantri Markas Besar Komando Jawa, Komando Special Duty dan Pejabat Komandan Kesehatan Markas Besar Komando Jawa dengan pangkat Kolonel. Sedangkan Jenderal Soengkono menjadi Panglima Divisi Jawa Timur.

Pada waktu Clash II dr. Moestopo bergerilya ke kompleks Merbabu-Merapi dengan menerapkan siasat perang gerilya dan perang rahasia (secret war). Pada pagi hari dr. Moestopo melakukan profesinya sebagai dokter gigi dengan memanfaatkan ramuan obat-obat tradisional yang telah dielajarinya dari seorang dokter tua di Solo. Kemdian beliau juga membuat resep-resep obat tersebut untuk dikirimkan ke seluruh daerah pertempuran di Indonesia. Sedangkan pada malam hari beliau memimpin pasukannya untuk menggempur Belanda. Pada 27 Desember 1949, Yogyakarta dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kemudian Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat. Dr. Moestopo sebagai seorang kolonel Infatri kembali ke profesinya semula sebagai Kepala Bagian Kedokteran Gigi MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) dan dibantu Letkol. Drg. Ali Dahlan, beliau memanfaatkan peralatan-peralatan medis yang ditinggalkan oleh tentara KNIL Belanda.

Kemudian dr. Moestopo menjabat sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang Rumah Sakit Angkatan Darat dan merangkap sebagai staf Dosen Universitas Indonesia. Pada 1953 beliau ikut mendirikan Rumah Sakit Jakarta. Pada 1961 beliau dianugerahi gelar Profesor dalam bidang Bedah Mulut oleh Universitas Indoensia, serta memperoleh gelar Profesor Pancasila dan Biologi dari Universias Pajajaran. Demikian pula beliau memperoleh brevet (keahlian) Bedah Rahang dari Prof. Dr. Ouw Eng Liang, brevet Orthodonsia dari Prof. Dr. Schonboum dan brevet Konservasi Gigi dari Prof. Dr. M. Knap.

Pada tahun yang sama beliau diangkat sebagai Guru Besar di Universitas Pajajaran oleh Presiden Sukarno, kemudian dikukuhkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1971 sebagai Guru Besar Bedah Mulut, Konservas Gigi, Orthodonsia, Biologi serta Pancasila.

Pada saat itu pula Prof. Dr. Moestopo bersama-sama dengan Dr. Ibnu Sutowo memperoleh tugas untuk menasionalisasikan perminyakan yang pada waktu itu masih dikuasai oleh Belanda. Dan akhirnya Prof. Dr. Moestopo mendirikan Akademik Minyak di Bandung yang kemudian dipindahkan ke Cepu.

Pada 1962, Prof. Dr. Moestopo juga menjabat sebagai ketua Tim Konsultasi Penganut Agama-Agama Seluruh Indonesia sebagai Pendiri dan Pemimpin Pusat Perdamaian Dunia berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada tahun ini juga, beliau mendirikan Oral Surgery of South West Pacific. Pada 1964, Prof. Dr. Moestopo mengadakan perjalanan kelilin gdunia kecuali negara-negara Australia, Afrika-Selatan, Cina, Norwegia, dan Swedia.

dr. Moestopo

Setelah lulus sebagai dokter gigi pada tahun 1937, dr. Moestopo tetap menjadi leveransir bahan-bahan kebutuhan rumah tangga dan alat-alat Dental Tehnik. Tetapi bila Prof. M. Knap pergi ke luar negeri, maka dr. Moestopo yang menggantikan praktiknya.

Pada hari Minggu dan hari-hari libur, dr. Moestopo sebagai seorang dokter gigi tidaklah tinggal berpangku tangan saja. Untuk mengamalkan ilm bagi bangsanya yang masih hidup menderita di bawah penjajahan Belanda, beliau pergi ke alun-alun Gresik dan membuka praktek Cuma-Cuma di sana. Hal ini dilakukannya untuk menolong pasien yang tidak mampu, terutama pada hari Minggu pagi, karena memang jarak Surabaya-Gresik tidaklah terlalu jauh, hanya kurang lebih enam belas kilometer.

Setelah mampu membeli alat-alat kedoteran gigi model genjotan, dr. Moestopo membuka praktek hingga larut malam di Gresik. Dari berbagai kegiatan di bidang kedokteran gigi, beliau sebagai seorang sarjana dokter gigi telah melaksanakan pola hidup sederhana dan kewajiban sosial terhadap masyarakat sekitarnya.

Dari penghasilan membuka klinik di Gresik dan praktek partikelir di Surabaya, akhirnya dr. Moestopo dapat membeli alat-alat kedokteran gigi yang lebih baik dan membuka praktek di Jala Princesenlaan Surabaya.

Pada waktu Prof. M. Knap ditugaskan melaksanakan wajib milisi untuk memerangi Jepang, dr. Moetopo diangkat sebagai Wakil Direktur Sekolah Kedokteran Gigi (Stovit) Surabaya oleh Prof. Dr. Van Zeben. Beliau selalu menasehati bahwa sebagai seorang pemimpin hendaknya harus selalu waspada dan melakukan introspeksi.

Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 dr. Moestopo diangkat sebagai Wakil Kepala Sekolah Tinggi (Sikka Daigaku) di bawah Direktur Prof. Dr. Sjaaf. Saat itu, dr. Moestopo telah menjadi asisten Prof. Sjaaf bersama-sama dengan asisten-asisten lainnya seperti Prof. Dr. Asil Asikin dan Prof. Dr. Indrojono yang kemudian menjadi ahli biologi di Universiats Gajah Mada.

 Sumber : Buku Sejarah Berdiri dan Berkembangannya Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo, 2007

Masa Muda Prof. Dr. Moestopo



Setelah lulus Mulo, Moestopo melanjutkan ke sekolah HIK (Sekolah Guru/Onderbouw) dan sejak kelas III HIK beliau mengikuti saudara misannya Raden Sutari sampai duduk di kelas II Stovit (Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi), sementara pembiayaannya dibantu oleh kakaknya sendiri Raden Moestajab yang pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya.
Sejak duduk di kelas III Stovit, Moestopo mula berdikari. Untuk membiayai pendidikan dan kehidupannya sehari-hari, pada waktu sore hari setelah pulang kuliah, beliau berdagang beras dan barang-barang kelontong kebutuhan hidup sehari-hari dengan mengunakan gerobak dorong.

Kegiatan yang dilakukan setiap hari mulai pukul 13.00 sampai pukul 16.00 diawali dengan menjual satu kotak sabun. Akhirnya beliau dapat menjadi leveransir kebutuhan rumah tangga Asrama Kristen Surabaya, Asrama Dokter NIAS Surabaya dan keluarga besar di daerah Tambaksari.

Kemudan Moestopo tidak hanya mejadi leveransir kebutuhan rumah tangga saja, melainkan juga sebagai Dental Techician Prof. M. Knap, Guru Besar Stovit Surabaya yang berkebangsaan Belanda. Pekerjaan ini dilakukan setiap malam mulai pukul 17.00 sampai pukul 24.00 dan bahkan kadang-kadang aru selesai pada pukul 02.00 dinihari.

Dari hasil kerjanya, Moestopo mampu membiayai kuliah dan kehidupan sehari-hari, bahkan beliau mampu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli sebuah rumah sederhana beratap alang-alang yang terletak di pinggir kota Surabaya. Tetapi karena letaknya di pedesaan tidak jarang bila hujan turun, rumah, dan halaman beliau digenangi air.
Pada hari Minggu dan hari-hari libur, Moestopo tidak berpangku tangan saja di rumah, melainkan turut kerjabakti bersama masyarakat d sekitarnya. Kerjabakti ini merupakan salah satu bentuk gotong-royong sebagai ciri khas bangsa Indonesia.

Demikian pula Moestopo sebagai mahasiswa dan generasi muda pada waktu itu berhasil mengajari masyarakat di sekitarnya mengenai sistem keamanan dengan menggunakan tanda atau bunyi kentongan jika ada pencuri masuk ke desa, sehingga pencuri tersebut akan gagal melaksanakan aksi pencurian.

Setiap malam sepulang dari bekerja sebagai Denal Technician, Moestopo yang waktu itu masih duduk di tingkat akhir Sekolah Tinggi Kedokeran Gigi Stovit, sudah ditunggu oleh masyarakat yang ingin meminta pertolongan pengobatan kepadanya. Dengan kegiatan ini, keuntungan ganda dapat diperoleh Moestopo, karena setia malam ada saja orang yang telah menyediakan makanan untuknya dan di pihak lain beliau juga berhasil mengamalkan ilmu untuk meringankan beban penderitaan orang lain melalui pengobatan yang diberikannya.

Lalu timbul pertanyaan, kapan Moestopo menggunakan waktu untuk belajar ? Beliau menggunakan waktu untuk belajar setiap ada kesempatan, dengan membagi waktu seefisien dan sefektif mungkin. Karena terbukti kemudian, Moestopo mampu menyelesaikan pendidikan Kedokteran Gigi dan lulus menjadi dokter gigi tepat dalam waktu lima tahun, yaitu pada tahun 1937.

 Sumber : Buku Sejarah Berdiri dan Berkembangannya Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo, 2007


Masa Kecil Prof. Dr. Moestopo



Prof. Dr. Moestopo lahir Ngadiluwih, Kediri pada tanggal 13 Juni 1913. Ayah beliau bernama R. Moetoro Kusumowinoto, seorang pensiunan pembantu Bupati Kediri, sedangkan ibu beliau bernama Ny. Indoen Soekidjah. Kehidupan masa kanak-kanak Moestopo tidaklah secerah anak-anak sebayanya betapa tidak, sejak berusia 5 tahun beliau tinggal di rumah pamannya R. Kusumo Adinoto adik dari ayahnya yang menjabat Bupati Kediri. Moestopo tidak lama tinggal bersama pamannya, setelah masuk di HIS (Hollanschc Indische Skool) Moestopo kembali berada di tengah-tengah kedua orang tuanya, karena ayahanda tercinta meninggal dunia pada saat Moestoo masih duduk di kelas V HIS. Agar Moestopo dapat melanjutkan sekolahnya Beliau dititipkan pada kakak Ibunya yang menjabat Wedana di Plemahan Kediri. Selain bersekolah di HIS pada pagi hari, untuk memperoleh bekal spiritual, Moestopo juga bersekolah di madrasah pada sore hari.

Selama tingal bersama pamannya, Moestopo memeroleh ketrampilan menggembalakan kambing dan menanam sayur-sayuran berupa kubis dan jenis sayur-sayuran lainnya. Bahan sewaktu duduk di kelas VI dan kelas VII HIS, Moestopo menjadi jongos (pembantu) pada kediaman Kepatihan Kediri mulai pukul 21.00 sampai dengan pukul 23.00.
Untuk menambah penghasilannya di samping menjadi jongos di Kepatihan Kediri, maka pada hari Rabu minggu terakhir setiap bulan, Moestopo terpaksa tidak dapat masuk sekolah karena harus bekerja sebagai juru tuls di pasar ternak yang menjual kambing, sapi, dan kerbau. Hal in senantiasa dilakukannya dengan senang hati dan bersungguh-sungguh sesuai dengan keteladanan Thomas A. Edison, penemu listrik yang menjadi idola beliau.

Selepas dari HIS, Moestopo meneruskan sekolahnya ke kelas Voor-Klas Mulo (Persiapan Sekolah Lanjutan Pertama) yang dibiayai bersama oleh saudara misannya, kakaknya dan seorang dermawan yang berasal dari Solo yaitu Raden Mas Supardi, serta oleh kakak iparnya Raden Suadji sampai duduk di kelas II Mulo.


 Sumber : Buku Sejarah Berdiri dan Berkembangannya Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo, 2007