Selasa, 13 Mei 2014

Moestopo : Pembela Tanah Air



Selama menjabat sebagai Wakil Kepala Stovit Surabaya dr. Moestopo dianjurkan untuk memasuk pendidikan kemiliteran yang tergabung dalam PETA (Pembela Tanah Air) yang didirikan untuk membantu pasukan Jepang di Indonesia. Akhirnya dr. Moestopo memasuki pendidikan kemiliteran PETA di Bogor yang berlangsung selama 120 hari.

Dengan demikian untuk sementara dr. Moestopo meninggalkan profesinya sebagai dokter gigi dan mulai beralih profesi di bidang kemiliteran.

Setelah selesai menjalani pendidikan dasar kemiliteran PETA di Bogor, dr. Moestopo diangkat sebagai Cudanco Cudan Satu Daidan Buduran Sidoarjo, melalui pendidikan tiga tahap, yaitu:
1. Bogio yang berarti pertahanan (defence)dibuat untuk membuat kubu pertahanan(Zinzi) di kota Porong dalam menghadapi serangan dari Surabaya dan Sidoarjo.
2. Genzizigatzu yaitu memeri pelajaran bercocok tanam, pembuatan jalan dan perkebunan di pegunungan pada daerah perbatasan kota Surabaya-Malang untuk menjaga gerak mundur pasukan, jika ada serangan musuh.
3. Kyuku yang berart pendidikan, menddik penerjemah bahasa Jepang ke Bahasa Indonesa (Cuyaku).
Dalam pendidikan PETA di Bogor, ada enam orang Daidanco bekas Cudanco yang merupakan lulusan-lulusan terbaik, diantaranya Panglima Besar Sudirman, Letjen. Gatot Subroto dan dr. Moestopo
Dalam ujian Daidanco Bogor ini, dr. Moestopo memperoleh predikat lulus dengan cum laude, dengan mempertahankan disertasinya yang berjudul “Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Kotoran Kuda Untuk People Defence-Attack dan Bioligical Warfare (perang biologis)”.

Di kemudian hari hasil penemuan dr. Moestopo berupa bambu runcing yang ujungnya dibubuhi kotoran kuda itu sangat ditakui tentara Belanda dan Jepang.

Untuk selanjutnya bambu runcing ini banyak dipakai oleh para pejuang kita dalam melakukan penyerangan mendadak terhadap tentara Belanda dan Jepang.

Kemudian dr. Moestopo diberi tugas sebagai Daidanco (perwira setara dengan komandan batalyon) di Gresik, yang berkekuatan 866 orang (kurang lebih satu batalyon) untuk memertahankan pantai Karesidenan Surabaya.
Masa pendudukan Jepang berakhir, ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh tentara Amerika pada tahun 1945, dan sejak saat itu Jepang menyerah kepada Sekutu. Bersamaan dengan berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia yang berlangsung selama tiga setengah tahun, Indonesia memproklamasikan dirinya sebagai Negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka secara de jure dan de facto ang memerintah Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi dengan menyerahnya Jepang di tangan Ameria dan sekutu-sekutunya, maka semua persenjataan tentara Jepang harus diserahkan kepada sekutu yang diwakii oleh tentara Inggris.
Dengan merdekanya Indonesia sebagai Negara Republik, seharusnya persenjataan tentara pendudukan Jepang di Indonesia diserahkan kepada Indonesia, tetapi pada kenyataannya akan diserahkan kepada tentara Inggris yang pada waktu itu belum ada di Indonesia.

Untuk menerima penyerahan senjata Jepang, maka sebagian tentara Inggris yang semula ditempatkan di India akan ditempatkan di Indonesia guna mengurus pemulangan tentara Jepang. Namun kondisi ini tidak menguntungkan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Karena tentara kolonial Belanda yang telah terusir oleh Jepang pada tahun 1942 ingin kembali menjajah Indonesia yang telah mereka dengan membonceng kehadiran tentara Inggris yang mempunyai tugas mengurus pemulangan tentara Jepang dan menerima penyerahan senjata dari Jepang.

Pada tanggal 30 September 1945 rombongan Bung Karno yang di dalamnya ikut serta Opsir sekutu datang dari Jakarta ke Surabaya dan bertempat di aula Gubernuran Jawa Timur. Pada saat itu di antara deretan pemimpin pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan opsir sekutu, dr. Moestopo berdiri tegak dengan sikap sempurna seorang militer sambil tangan kirinya memegang ujung Bendera Merah Putih, beliau berkata “Bung Tembak saya di sini, di depan par opsir bule itu biar mereka menyaksikan dengan puas. Arahkan mulut senapan itu kepada saya dan semburkan pelurunya kala saya selesai memberi hormat pada Bung.”

Semua orang terdiam baru kemudian Bung Karno berteriak dengan suara mengledek “Tidak! Hanya saya Presiden Republik Indonesia yang bisa membunuh Moestopo”, maka keesokan harinya pada tanggal 1 Oktober 1945 keluar surat perintah Presiden Republik Indonesia yang ditulis oleh Bung Karno kepada Jenderal dr. Moestopo untuk mengkoordinir tenaga perjuangan untuk memperkuat pertahanan dan stabilitas Negara Republik Indonesia.

Dr. Moestopo yang telah memiliki ketrampilan sebagai seorang militer dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 tidak tinggal diam begitu saja. Dengan satu batalyonnya yang ditempatkan di Gresik oleh Jepang, dr. Moestopo membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jawa Timur selaku Penanggung Jawab Keamanan Rakyat Jawa Timur.

Kemudian dr. Moestopo oleh Pemerintah Pusat yang pada waktu itu berkedudukan di Jakarta sebagai Penanggung Jawab Revolusi Jawa Timur dan Menteri Pertahanan Ad. Interim. Dengan jabatan tersebut, dr. Moestopo berdiplomasi mendatangi Jenderal Iwabe yang berkedudukan sebagai Panglima Angkatan Darat Tobu Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Jenderal Shibata sebagai Panglima Angkatan Laut Jepang yang ditempatkan di Indonesia Timur untuk mendapatkan semua senjata dan semua peralatan perangnya sebelum diserahkan kepada tentara Sekutu yang diwakili tentara Inggris.
Karena posisi tentara Jepang yang diberi tugas oleh Sekutu untuk menjaga keamaan Indonesia sebelum tentara Inggris datang, memaksa Jepang untuk tidak begitu saja menyerahkan semua senjata dan peralatan perangnya kepada Indonesia.
Dengan tidak diserahkannya senjata tersebut, memaksa dr. Moestopo dengan pasukan keamanan rakyat dan para pemda dengan persenjataan seadanya seperti bambu runcing, menyerang markas Ken Pei Tai Jepang di Surabaya.

Dengan adanya serangan tersebut, maka seluruh persenjataan dan peralatan perang di Surabaya diserahkan kepada pejuang kita. Dari penyerangan itu kemudian lahir perkataan bambu runcing mengalahkan senjata modern.

Kemudian dengan kereta api dr. Moestopo mengirimkan senjata dan peralatan perang tersebut kepada para pejuang untuk mempersenjatai perjuangan rakyat di Jakarta Raya, Bekasi, Klender, Garut, Cirebon, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan dan daerah lainnya.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tentara Inggris di bawah pimpinan Jenderal Mallaby datang ke Indonesia dan hanya dapat melucuti senjata Jepang di Jakarta dan di Bandung. Di Surabaya, Jawa Timur, Jawa Tengah, tentara Inggris tersebut tidak dapat melucuti senjata Jepang, karena semua senjata-senjata itu sudah dibagi-bagikan ke seluruh rakyat pejuang arek-arek Suroboyo dan telah disebarkan ke seluruh Indonesia kecuali pulau Sumatra.
Dengan tidak berhasilnya melucuti persenjataan tentara Jepang di Surabaya, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, tentara Inggris kemudian menyerang Surabaya. Serangan itu tidak didiamkan begitu saja oleh Badan Keamanan Rakyat dan rakyat Surabaya. Tetapi dihadapi dengan serangan balasan yang dipimpin oleh dr. Moestopo selaku Penanggung Jawab Revolusi Jawa Timur. Taktik yang dipergunakan oleh dr. Moestopo adalah taktik Himizu Zensosen (Perang Rahasia/Gerilya) digabung dengan Perang Sengaisen (Perang Kota). Akibat serangan balasan tersebut, Jenderal Mallaby sebagai Komandan Pasukan Inggris yang telah berpengalaman Perang Dunia II terpaksa mengibarkan bendera putih, bahkan dalam suatu peristiwa di dekat Jembatan Merah Surabaya, Jenderal Mallaby tewas oleh peluru Arek Suroboyo.

Tewasnya Jenderal mallaby d Surabaya, bukanlah tanggung jawab dr. Moestopo, karena perintah perang telah dihentikan oleh Bung Karna dan Bung Hatta yang secara khusus datang ke Surabaya untuk menyelesaian perang antara Badan Keamanan Rakyat beserta Arek-arek Suroboyo melawan tentara Inggris. Dalam kesempatan itu dr. Moestopo yang akhirnya dipensiunkan sebagai Jenderal penuh oleh Bung Karno berkesempatan menyampaikan sebuah dokumen yang menyatakan bahwa kedatangan tentaara Inggris di Indonesia sebagai tentara Sekutu sebenarnya diboncengi oleh tentara Nica Belanda yang akan kembali menjajah Indonesia yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945.

Dokumen itulah yang melatarbelakangi petempuran di Surabaya. Karena seluruh Bangsa Indonesia tidak ingin dijajah kembali oleh Belanda, dan seluruh rakyat Indonesia bersemboyan lebih baik mati daripada dijajah kembali oleh Belanda. Dengan motivasi itulah seluruh rakyat Indonesia baik tua maupun muda, laki-laki atau perempuan, memanggul senjata untuk mengusir kembali penjajah Belanda dari tanah air tercinta.

Setelah dipensiunkan sebagai Jenderal penuh, kemudian dr. Moestopo diberi tugas sebagai Penasehat Agung Militer Presiden Republik Indonesia.

Selang beberapa waktu kemudian dr. Moestopo menerima telegram dari Perdana Menteri Sutan Syahrir agar datang ke Jakarta. Dr. Moestopo dijemput oleh Letjen. Abdul Karnen naik mobil ke Jakarta dan langsung menuju rumah Walikota Jakarta Barat Suwiryo.

Kemudian dr. Moestopo menghadap Perdana Menteri Sutan Syahrir. Dr. Moestopo diusulkan kepada Presiden Sukarno untuk diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Tetapi usul itu ditolak oleh Presiden Sukarno dengan alasan dr. Moestopo saat itu masih menjabat sebagai Penasihat Agung Militer Panglima Perang Tertinggi/Presiden Republik Indonesia Sukarno.
Oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, dr. Moestopo bersama dengan Letjen. Soengkono diperbantukan kepada Menteri Pertahanan di bidang PEPOLIT dari wakil-wakil partai dan dr. Moestopo mewakili Angkatan Darat.

Dengan hijrahnya Pemerintah Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta, maka seluruh aparat Pemerintah Republik Indonesia turut hijrah pula ke Yogyakarta. Pada agi hari dr. Moestopo bertugas di Departemen Pertahanan dan bila malam hari beliau melakukan studi reklasering terhadap para pencopet, pelacur, dan penjahat untuk direhabilitasi (reklasering).

Manfaat dari studi reklasering itu digunakan untuk perjuanan. Para pencopet, pelacur, dan penjahat yang telah direhabilitasi itu dibentuk menjadi barisa Terae yang diterjunkan di medan perang di Purwakarta untuk membantu Divisi Siliwangi, dan di tempat-tempat pertempuran lainnya. Hal tersebut atas permintaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada dr. Moestopo agar para pencopet, pelacur, penjahat yang telah direhabilitasi dipindahkan dari kota Yogyakarta.

Dr. Moestopo bersama-sama dengan Jenderal Sudirman, Jenderal Urp Sumoharjo, Komodor Suryadarma dan Laksamana Natsir dari Angatan Laut serta Bung Tomo merupakan perintis organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada waktu kedudukan Pemerintah Indonesia yang dipertahankan oleh Divisi Siliwangi terdesak oleh serangan tentara Belanda sampai di Purwakarta, dr. Moestopo diperintahkan oleh Bung Karno dan Jenderal Urip Sumoharjo untuk membantu Panglima Divisi Siliwangi Jenderal Nasution untuk merebut daerah Parahyangan yang sudah dikuasai Belanda sampai di Bandung.

Kemudian dr. Moestopo ditunjuk sebagai Panglima Divisi Siliwangi Utara yang berkedudukan di Purwakarta. Di sepanjang Gunung Bukit Tunggul, Burangrang dan Tangkunban sampai pegunungan di dekat Bogor, dr. Moestopo melatih dan membentk Barisan Terate (Jawa-Sunda) dan Ajak Merah (Batak) yang dipimpin oleh anak-anak siswa Akademi Militer Yogyakarta, seperti misalnya Prof. Dr. Subroto (Mantan Menteri Pertambangan), Letjen Sajidiman (Mantan Dubes RI di Jepang), Jenderal Purnawirawan Widod (Mantan KSAD), Letjen. Himawan Sutanto dan masih banyak lagi yang sekarang telah menjadi Perwira Tinggi TNI. Banyak anak didik beliau yang telah menduduki pos-pos penting di dalam pemerintahan.

Sewaktu menjadi Wakil Panglima Siliwangi, dr. Moestopo mengalami patah tulang, akibat pertempuran menghadapi jagoan belanda Kartalegawa dan pasukannya yang dibantu oleh pasukan Po An Tui (Tentara Cina yang membantu Belanda). Sesdudah adanya gencatan senjata, dr. Moestopo dikabarkan telah meninggal dunia.

Usaha pencarian yang dilakukan Pemerintah akhirnya menemukan dr. Moestopo sedang dirawat di tengah hutan di daerah Cianur oleh seorang petani. Kemudian dr. Moestopo dibawa ke Yogyakarta untuk dirawat di rumah sakit Bethesda. Tetapi belum sembuh benar dari sakitnya Beliau menerima telegram untuk menggantikan Jenderal Sudiman sebagai KomandanMarkas Besar Pertempuran Jawa Timur.

Untuk membantu merebut daerah-daerah yang diduduki Belanda, dr. Moestopo membawa satu kompi Ajak Merah dan tiga batalyon Pasukan Terate yang bertindak sebagai inti pasukan penggempur guna membantu penyernan terhadap kota Surabaya, Malng, Semaran, dan daerah Jawa Barat. Di samping itu, dr. Moestopo juga merangkap menjadi Panglima Teritorial Komanda Markas Besar Pertempuran Jawa Timur yang sudah memiliki pesawa terbang dan kereta api ‘Cap Jago’ jurusan Yogya-Malang yang dilengkapi dengan senjata otomatis dan kanon di atas kereta api.

Setelah adanya rasionalisasi kepangkatan (Rera), seluruh anggota TNI pangkatnya diturunkan satu tingkat dan empat divisi diciutkan menjadi sat divisi. Dr. Moesopo kemudian diangkat menjadi Inspektur Infantri Markas Besar Komando Jawa, Komando Special Duty dan Pejabat Komandan Kesehatan Markas Besar Komando Jawa dengan pangkat Kolonel. Sedangkan Jenderal Soengkono menjadi Panglima Divisi Jawa Timur.

Pada waktu Clash II dr. Moestopo bergerilya ke kompleks Merbabu-Merapi dengan menerapkan siasat perang gerilya dan perang rahasia (secret war). Pada pagi hari dr. Moestopo melakukan profesinya sebagai dokter gigi dengan memanfaatkan ramuan obat-obat tradisional yang telah dielajarinya dari seorang dokter tua di Solo. Kemdian beliau juga membuat resep-resep obat tersebut untuk dikirimkan ke seluruh daerah pertempuran di Indonesia. Sedangkan pada malam hari beliau memimpin pasukannya untuk menggempur Belanda. Pada 27 Desember 1949, Yogyakarta dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kemudian Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat. Dr. Moestopo sebagai seorang kolonel Infatri kembali ke profesinya semula sebagai Kepala Bagian Kedokteran Gigi MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) dan dibantu Letkol. Drg. Ali Dahlan, beliau memanfaatkan peralatan-peralatan medis yang ditinggalkan oleh tentara KNIL Belanda.

Kemudian dr. Moestopo menjabat sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang Rumah Sakit Angkatan Darat dan merangkap sebagai staf Dosen Universitas Indonesia. Pada 1953 beliau ikut mendirikan Rumah Sakit Jakarta. Pada 1961 beliau dianugerahi gelar Profesor dalam bidang Bedah Mulut oleh Universitas Indoensia, serta memperoleh gelar Profesor Pancasila dan Biologi dari Universias Pajajaran. Demikian pula beliau memperoleh brevet (keahlian) Bedah Rahang dari Prof. Dr. Ouw Eng Liang, brevet Orthodonsia dari Prof. Dr. Schonboum dan brevet Konservasi Gigi dari Prof. Dr. M. Knap.

Pada tahun yang sama beliau diangkat sebagai Guru Besar di Universitas Pajajaran oleh Presiden Sukarno, kemudian dikukuhkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1971 sebagai Guru Besar Bedah Mulut, Konservas Gigi, Orthodonsia, Biologi serta Pancasila.

Pada saat itu pula Prof. Dr. Moestopo bersama-sama dengan Dr. Ibnu Sutowo memperoleh tugas untuk menasionalisasikan perminyakan yang pada waktu itu masih dikuasai oleh Belanda. Dan akhirnya Prof. Dr. Moestopo mendirikan Akademik Minyak di Bandung yang kemudian dipindahkan ke Cepu.

Pada 1962, Prof. Dr. Moestopo juga menjabat sebagai ketua Tim Konsultasi Penganut Agama-Agama Seluruh Indonesia sebagai Pendiri dan Pemimpin Pusat Perdamaian Dunia berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada tahun ini juga, beliau mendirikan Oral Surgery of South West Pacific. Pada 1964, Prof. Dr. Moestopo mengadakan perjalanan kelilin gdunia kecuali negara-negara Australia, Afrika-Selatan, Cina, Norwegia, dan Swedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar