Setelah lulus Mulo, Moestopo melanjutkan ke sekolah HIK (Sekolah Guru/Onderbouw) dan sejak kelas III HIK beliau mengikuti saudara misannya Raden Sutari sampai duduk di kelas II Stovit (Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi), sementara pembiayaannya dibantu oleh kakaknya sendiri Raden Moestajab yang pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya.
Sejak duduk di kelas III Stovit, Moestopo mula berdikari. Untuk membiayai pendidikan dan kehidupannya sehari-hari, pada waktu sore hari setelah pulang kuliah, beliau berdagang beras dan barang-barang kelontong kebutuhan hidup sehari-hari dengan mengunakan gerobak dorong.
Kegiatan yang dilakukan setiap hari mulai pukul 13.00 sampai pukul 16.00 diawali dengan menjual satu kotak sabun. Akhirnya beliau dapat menjadi leveransir kebutuhan rumah tangga Asrama Kristen Surabaya, Asrama Dokter NIAS Surabaya dan keluarga besar di daerah Tambaksari.
Kemudan Moestopo tidak hanya mejadi leveransir kebutuhan rumah tangga saja, melainkan juga sebagai Dental Techician Prof. M. Knap, Guru Besar Stovit Surabaya yang berkebangsaan Belanda. Pekerjaan ini dilakukan setiap malam mulai pukul 17.00 sampai pukul 24.00 dan bahkan kadang-kadang aru selesai pada pukul 02.00 dinihari.
Dari hasil kerjanya, Moestopo mampu membiayai kuliah dan kehidupan sehari-hari, bahkan beliau mampu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli sebuah rumah sederhana beratap alang-alang yang terletak di pinggir kota Surabaya. Tetapi karena letaknya di pedesaan tidak jarang bila hujan turun, rumah, dan halaman beliau digenangi air.
Pada hari Minggu dan hari-hari libur, Moestopo tidak berpangku tangan saja di rumah, melainkan turut kerjabakti bersama masyarakat d sekitarnya. Kerjabakti ini merupakan salah satu bentuk gotong-royong sebagai ciri khas bangsa Indonesia.
Demikian pula Moestopo sebagai mahasiswa dan generasi muda pada waktu itu berhasil mengajari masyarakat di sekitarnya mengenai sistem keamanan dengan menggunakan tanda atau bunyi kentongan jika ada pencuri masuk ke desa, sehingga pencuri tersebut akan gagal melaksanakan aksi pencurian.
Setiap malam sepulang dari bekerja sebagai Denal Technician, Moestopo yang waktu itu masih duduk di tingkat akhir Sekolah Tinggi Kedokeran Gigi Stovit, sudah ditunggu oleh masyarakat yang ingin meminta pertolongan pengobatan kepadanya. Dengan kegiatan ini, keuntungan ganda dapat diperoleh Moestopo, karena setia malam ada saja orang yang telah menyediakan makanan untuknya dan di pihak lain beliau juga berhasil mengamalkan ilmu untuk meringankan beban penderitaan orang lain melalui pengobatan yang diberikannya.
Lalu timbul pertanyaan, kapan Moestopo menggunakan waktu untuk belajar ? Beliau menggunakan waktu untuk belajar setiap ada kesempatan, dengan membagi waktu seefisien dan sefektif mungkin. Karena terbukti kemudian, Moestopo mampu menyelesaikan pendidikan Kedokteran Gigi dan lulus menjadi dokter gigi tepat dalam waktu lima tahun, yaitu pada tahun 1937.
Sejak duduk di kelas III Stovit, Moestopo mula berdikari. Untuk membiayai pendidikan dan kehidupannya sehari-hari, pada waktu sore hari setelah pulang kuliah, beliau berdagang beras dan barang-barang kelontong kebutuhan hidup sehari-hari dengan mengunakan gerobak dorong.
Kegiatan yang dilakukan setiap hari mulai pukul 13.00 sampai pukul 16.00 diawali dengan menjual satu kotak sabun. Akhirnya beliau dapat menjadi leveransir kebutuhan rumah tangga Asrama Kristen Surabaya, Asrama Dokter NIAS Surabaya dan keluarga besar di daerah Tambaksari.
Kemudan Moestopo tidak hanya mejadi leveransir kebutuhan rumah tangga saja, melainkan juga sebagai Dental Techician Prof. M. Knap, Guru Besar Stovit Surabaya yang berkebangsaan Belanda. Pekerjaan ini dilakukan setiap malam mulai pukul 17.00 sampai pukul 24.00 dan bahkan kadang-kadang aru selesai pada pukul 02.00 dinihari.
Dari hasil kerjanya, Moestopo mampu membiayai kuliah dan kehidupan sehari-hari, bahkan beliau mampu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli sebuah rumah sederhana beratap alang-alang yang terletak di pinggir kota Surabaya. Tetapi karena letaknya di pedesaan tidak jarang bila hujan turun, rumah, dan halaman beliau digenangi air.
Pada hari Minggu dan hari-hari libur, Moestopo tidak berpangku tangan saja di rumah, melainkan turut kerjabakti bersama masyarakat d sekitarnya. Kerjabakti ini merupakan salah satu bentuk gotong-royong sebagai ciri khas bangsa Indonesia.
Demikian pula Moestopo sebagai mahasiswa dan generasi muda pada waktu itu berhasil mengajari masyarakat di sekitarnya mengenai sistem keamanan dengan menggunakan tanda atau bunyi kentongan jika ada pencuri masuk ke desa, sehingga pencuri tersebut akan gagal melaksanakan aksi pencurian.
Setiap malam sepulang dari bekerja sebagai Denal Technician, Moestopo yang waktu itu masih duduk di tingkat akhir Sekolah Tinggi Kedokeran Gigi Stovit, sudah ditunggu oleh masyarakat yang ingin meminta pertolongan pengobatan kepadanya. Dengan kegiatan ini, keuntungan ganda dapat diperoleh Moestopo, karena setia malam ada saja orang yang telah menyediakan makanan untuknya dan di pihak lain beliau juga berhasil mengamalkan ilmu untuk meringankan beban penderitaan orang lain melalui pengobatan yang diberikannya.
Lalu timbul pertanyaan, kapan Moestopo menggunakan waktu untuk belajar ? Beliau menggunakan waktu untuk belajar setiap ada kesempatan, dengan membagi waktu seefisien dan sefektif mungkin. Karena terbukti kemudian, Moestopo mampu menyelesaikan pendidikan Kedokteran Gigi dan lulus menjadi dokter gigi tepat dalam waktu lima tahun, yaitu pada tahun 1937.
Sumber : Buku Sejarah Berdiri dan Berkembangannya Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar